Pita Hujan

“Kamu itu bidadari tanpa sayap, Sayang, maka dari itu aku datang diciptakan Tuhan untuk menjadi sepasang sayap buatmu…”

Sejujurnya gue agak-agak jungkir balik bikin resensi ini, coz lusa kemarin gue baru pulang tugas tiga hari dari hutan dengan road trip seharian, disusul ngasih materi ajar besoknya, dilanjut praktek ke hutan bumi Paser besok dan baru clear seminggu kemudian. So jeda waktu gue pikir cuman hari Minggu ini kalau memang gue serius pengen ikutan. Aaakkh, gue nggak tega kalo nggak ikutan! Makhluk penulis yang satu ini, Eni Martini, is one of my best friend, so apalagi sih yang bisa gue kasih selain resensi abal-abal ini? Terutama karena berbagai janji resensi untuk keseluruhan novel terdahulunya tereliminasi dengan sendirinya terkalahkan berbagai tumpukan kerjaan, two daughters, tagihan, etc, terutama oleh sifat perfeksionis akut gue kalo menyangkut soal tulisan. Seremeh apapun tulisan itu. It must be fresh, it must be a story that has meaning, blablabla. Meski ujung-ujungnya ya begini-begini aja gaya tulisannya, abal-abal, hehehe.

Oke, shut up Mel, let’s go to the point : Rainbow.

Pose with Rainbow

Well, first, gue mesti komen soal cover. It’s beautiful indeed. Sayang nggak ada informasi siapa yang mendesain cover indah itu. Apakah Budi sang suami? He’s an artist. Kalo bener, way to go, Bud!

Kedua, soal gaya tulisan. Jujur gue lumayan terkesima mengamati perkembangan gaya tulisan seorang Eni Martini untuk novel terbarunya ini. Beda banget sama yang sebelum-sebelumnya. Hampir mirip sih dengan tulisan sebelumnya, Soul Travel in Baduy, which I like so much, tapi selalu nggak sempet bikin resensinya sampai sekarang. Entah kapan *termenungmenatapdindingkosong*. Meski masih ada aja satu-dua kata yang miss-editing, tapi ini sudah merupakan evolusi yang luar biasa dari seorang Eni Martini yang gue sangat tahu bagaimana hancur spell-nya dulu, meski di kepalanya selalu berputar cerita maupun puisi nan indah. Well done, Eni, Rainbow keren dalam hal ini. So selanjutnya siap untuk fiksi sejarah? *comottapegoreng*

Ketiga soal jalan ceritanya. Ehem, sebenarnya gue nggak terlalu tertarik pada saat Eni memberi tahu sekilas. Tentang seorang pasangan muda bahagia yang terkena musibah saat first anniversary pernikahan mereka. Lalu si suami kecelakaan dan berakhir cacat dengan kaki satu. Terus suami yang tadinya begitu mencintai sang istri mendadak berubah jadi monster, dan si istri tertatih-tatih menyelamatkan pernikahan mereka. Oke. Drama keluarga. Satu jenis novel yang bakal gue hindari untuk dibeli, hahaha. Nggak tahu kenapa. Mungkin karena udah nggak ada penasarannya lagi kali ya. Toh mereka sama-sama cinta, case closed. Gimana caranya ya memang harus berusaha untuk terus membuat cinta berkobar. BUT, sekali lagi karena ini yang bikin adalah sobat sendiri, nggak bisa nggak deh, wajib beli hehehe.

Karakter si istri ini, Keisha, pada perkenalan pertama langsung mengingatkan gue akan sosok Bella, cewek yang mupeng sama vampir itu lho di Twilight. Iya sih dia smart, tapi keseringan lemah tak berdaya. Sorry for being synical, tapi gue emang paling nggak tahan sama cewek yang model beginian. Nah, si Keisha ini cengeng beud. Nangis mulu.  Oke sih kalo sekali dua, tapi ini waduh, gimana dia mau kontrol kehidupan di seputarnya kalo kontrol dirinya sendiri aja nggak bisa. Nah, yang bikin gue penasaran, dengan karakter Keisha sebegitunya, kira-kira gimana caranya ya dia menyelamatkan pernikahannya? Jujur gue pesimis.

Alur agak lambat di awal-awal. Gue menunggu dan menunggu kira-kira kapan konflik pecah, berapa banyak, dan separah apa konflik yang terjadi, lalu apa yang akan dilakukan Keisha di setiap konfliknya. Owh, ternyata nggak banyak konflik. Seingat gue, cuman ada satu konflik kecil si Akna, sang suami, memecahkan kaca jendela, dan satu konflik besar saat Akna memaksa istrinya berhubungan. Dan yah, di semua konflik itu, seperti yang sudah gue perkirakan, Keisha dengan karakter istimewanya, sebenarnya tak melakukan apa-apa untuk menyelamatkan pernikahannya, kecuali soal ekonomi.

Padahal yang terpenting adalah bagaimana menyelamatkan sang suami dari jurang yang ia buat sendiri. Saking hancur hatinya Keisha akan berbagai jawaban-jawaban dingin Akna, ia malah minggir. Yah, bisa dibilang ia tak berbuat apa-apa selain menyediakan makan dan obat. Menyapa sekali-kali. Jarang memeluk, jarang mencium, jarang komunikasi, dan terakhir malahan ia sempat pisah kamar sebulanan untuk fokus pada bisnisnya. Daan.. ia malah meninggalkan suaminya setelah memaksanya berhubungan pertama kali setelah musibah, lalu memutuskan bahwa ia tak tahan lagi untuk hidup bersama monster. Owkeh.

Geregetan banget gue. Emang sih gue belum pernah berada di situasi kayak mereka. Tapi gue bisa ngebayangin kalo gue di posisi Keisha. Well, gue akan bersikeras sedari awal, bersikeras memeluknya setiap hari, bersikeras menciumnya setiap hari, bersikeras mengajaknya mengobrol tentang apa saja setiap hari, kalo bisa cerita-cerita yang lucu-lucu, bersikeras menggodanya setiap hari, bersikeras mengajaknya keluar dari jurang yang ia buat sendiri dan hadapi kenyataan. Bodo amat kalo dia kasar, dingin. Bodo amat kalo dia cuman diem. Bodo amat kalo dia jadi monster. Kalo perlu gue jadi monster juga. Jadi kayak Shrek dan siapa itu istrinya yang ternyata dikutuk jadi monster ijo juga, hehehe.

Kalo awalnya Akna bilang Keisha adalah bidadari tanpa sayap, dan ia datang diciptakan Tuhan untuk menjadi sayap buat Keisha, apa salahnya kalo gantian? Akna adalah bidadari cowok dan Keisha adalah istri yang diciptakan Tuhan untuk menjadi sayapnya? Eh, tapi ada kan bidadari cowok? Masak nggak ada? Kasihan dunk kita-kita yang cewek, hihihi.

Lalu bagaimana endingnya? Tentu saja happy. Wong judulnya aja penuh harapan kok. Nggak seperti biasanya, gue akan skip cerita endingnya kali ini. Pasti penasaran kan, bagaimana akhirnya mereka bisa menyatu kembali, apalagi dengan karakter Keisha yang lemah dan diprediksi secara akurat oleh gue, si psikolog odong-odong, bahwa dia faktanya memang nggak bisa menyelamatkan suaminya dari jurang penuh racun. Apakah suaminya sendiri yang tau-tau ditampar setan dan menolong dirinya sendiri? Silaken dinikmati sendiri ya, hehehe. Pokoknya endingnya indah sekali, seindah pelangi. Rainbow, yang kalo dibahasaindonesiakan, adalah pita hujan. Menjadikan hujan tampak cantik dan kerap dijadikan simbol bagi mereka yang saling merindukan.

9 respons untuk ‘Pita Hujan

    • synicalmel berkata:

      Oiyeee miiirr gw aja dah lupaaa wekekeke ada yg bagus tuh mir pas akhir2 cuman gw lupa sapa yg nulis keknya ibu2 juga trus tinggal di desa, fotonya pake jilbab oren duduk di teras ….

      Suka

Tinggalkan Balasan ke Eni Martini Batalkan balasan